15/09/10

Dunia dalam Kelamin

Saya melihat seorang pengembara berjalan mendekat.
Tanpa sehelai benang.
Telanjang, ditelanjangi, atau mungkin menelanjangi.
Juga tanpa kelamin, maka tidaklah ia berjalan dengan malu.
Bukan cacat, bukan pula halusinasi.
Apakah dunia ini bulat?
Apakah dunia ini datar?
Ia tidak lagi peduli.
Menurutnya, lebih baik datar, jika perubahan berwujud tupai berkepala dua yang menggerogoti kebahagian yang belum sempat diraba.
Lebih baik bulat ,jika nestapa tidak memandang luka dan nanah yang belum kunjung kering.

Tidak ada yang lebih baik di dunia ini selain berkelana sambil telanjang, tanpa sehelai benang, dan tak berkelaminkan sebuah identitas

12/09/10

Semua Orang Ingin

(Saya ingin) Mati. Daripada harus hidup dua ratus tahun hanya bermodal jengah, saya lebih baik mati sesuai ilustrasi takdir.

Lalu, Masuk Surga. Siapa yang tidak ingin?





06/09/10

Ibu, aku berantakan...

Dua jarum beda panjang yang melekat di benda bulat pipih berlindungkan kaca tersebut mulai maju menunjuk angka satu (si pendek tentunya) dan si panjang sudah mulai menyentuh angka dua belas. Yang lebih mudah bila saya ceritakan, saat itu sudah pukul satu dini hari.
Mata saya masih terbuka lebar, mamandangi layar laptop walau dengan tatapan kosong

Saya mau bercerita, hari ini : BERANTAKAN

Mulai dari kamarku, yang secara sadar kutemui dengan susuananya yang tidak jauh beda dari kandang ayam. Bau lembab, sepertinya cocok menjadi ekosistem jamur-jamur yang kebingungan, debu-debu terlihat santai bertegur sapa sambil berterbangan bertukar tempat. Ohya, tidak lupa baju-baju kotor bau apek yang tergeletak di meja belajar, tergantung di teralis jendela sampai menghalangi sinar matahari yang seharusnya bisa membunuh jamur. Tapi beginilah daya kamar yang hanya disapu seminggu sekali....

Lalu penampilanku, setelah mandi, merasa bersih, aku pun bergegas mulai menata apa yang bisa ditata dari kaki hingga kepala. Tapi, kayaknya percuma, tuh! Masih terlihat berantakan. Rambut? sudah disisir.
Wajah? Sudah dioleskan moisturizer (kalau memang masih berantakan, mungkin bawaan janin) -___-
Baju? Tidak ada yang robek, sudah disetrika oleh ibu dengan apiknya
Baiklah, aku berkelit bahwa penampilan kasualku mungkin terlihat "berantakan".....

Kemudian aku memutuskan untuk terduduk sebentar, layaknya melodrama berlatar buaian kamar, aku duduk dengan tatapan kosong di atas kasur, dan berusaha menyadari apa yang berantakan. Kenapa baru saja setengah hariku yang sudah lewat bisa kusimpulkan dengan kondisi "berantakan" yang mayoritas?
Hm.. Dengan suasana galau yang teramat sangat, aku mulai menyadari bahwa kondisi berantakan ini sudah tercipta jauh semenjak aku sadar bahwa mereka tidak tertata rapih. Tidak cukup aku menyapu, membasuh kaca berdebu, melipat pakaian, lantas sekitarku ini berubah menjadi rapih.
Karena, jika aku sempat membiarkan mereka berantakan, walaupun akhirnya akan kurapihkan, siklus semrawut akan menjadi stereotip di keseharianku. Dan berantakan akan menjadi sesuatu yang tidak tuntas.

Benar kata ibu "Sebelum keadaan menjadi berantakan, kembalikan apa yang kamu ambil tadi ke tempatnya semula" satu lagi "Sebelum merasa berantakan, sudahkah kamu berkontribusi untuk memberikan 'kerapihan' sebuah kesempatan?"

Lalu malam ini aku hanya bisa bilang "Ibu, maaf aku berantakan..."


*untuk ibu yang selalu tahu padahal bukan dukun :)


'