27/02/10

Halo, namaku Lara

Saat sekumpulan yang "besar" terlihat mengecil, seperti miniatur bahkan mainan yang bisa dikendalikan dengan kepalan tangan seorang anak kecil, mungkin itu saatnya di mana kita (sang pengamat) merasa paling berkuasa.

Memiliki kuasa untuk menjatuhkan mercon atau bahan peledak lainnya agar segala sesuatu yang mungil itu hancur, lebur menyatu dengan tanah tidak ada yang meninggi merendah karena semuanya rata. Ambisi. Karena iri. Atau dengki.

Itulah yang disebut khayal. Angan merekah ketika kita sadar kita kecil, tidak berdaya, dan semua intuisi adalah negasi. Tidak sanggup melihat ke atas karena tidak ada pembela, bahkan semua kata terdengar miris seakan kita si kecil yang terpojok dan sedang berlakon dalam sebuah melodrama dengan rating nomor satu.

Ini bukan satu musim tiga atau empat bulan. Juga bukan siklus hidup "derita pasti berlalu". Tapi coba pikir sekali lagi ketika bunyi labial mengeluarkan kata "sampah". Kenapa yang keluar harus keluh? Atau prasangka bahwa posisi kita sedang berada di bujur terkeji dibanding yang lain? dan yang paling parah, kita merasa sendiri, tanpa teman.

Mungkin ini yang disebut Lara. Salam kenal!!

Namaku : Lara, kadang duka

Alamat : Nomaden, aku mengikuti sesuatau yang namanya gontai, atau labil

Hobi : Membuat insan sadar dari buaian kebahagiaan yang kadang menjemukan


Cobalah sesekali bersahabat dengan Lara.

Lara tidak menggigit, menerkam, atau menusuk. Dia hanya merenggut. Merengggut apa yang belum pantas kita peluk. Pelukan yang isinya hanya dosa, nafsu, dan dengki terhadap mereka yang lebih tinggi seperti pencakar lantai neraka.

Terima saja apa yang ada, karena kita sedang miskin usaha. Miskin karena kejengahan yang akan berlabuh pada kumpulan konsonan tanpa vokal yang tidak layak dibaca, ditulis, bahkan masuk kamus. Semuanya sama, gontai itu sia-sia. Lebih baik usai daripada berjalan dengan nanah.
Menyerah? kadang tidak dosa.
Usaha? berarti berpisah dengan lara. Jangan lupa ucapkan terimakasih padanya.

20/02/10

an Artificial morning

Selamat pagi, mungkin ini dibaca ketika kalian sudah lagi tidak jumpa matahari
Tapi ayo bersugesti ini masih pagi dan semua belum terlambat untuk dimulai

Sebelum mandi, aku sempat bertanya pada angin yang bersemilir
"Kenapa selalu ada penyesalan"
Jawab angin "Karena waktu memang tidak ingin kompromi"

Baiklah, kalau begitu aku tidur saja, sekali lagi.
Berharap nanti bangun akan terasa seperti pagi lagi


Dan sebelum mandi, mungkin aku akan bertanya kembali
Entah pada angin lagi atau keran kamar mandi
Pertanyaanku akan sama seperti tadi
Sampai akan ada yang menjawab seperti ini :
"Penyesalan ada karena kamu selayaknya tidak lagi kembali pada satu ironi"

07/02/10

Dust in the Past

Ketika semuanya sedih, ketika semuanya letih, ketika semuanya merintih karena jatuh pelan tapi terasa begitu pedih, hanya karena debam berbunyi risih yang hasilnya membuat langkah tertatih.

Bukan bunyinya atau lukanya, tapi mungkin prosesnya yang mebuat kita terkejut bahwa kronologi sesederhana itu bisa membuka luka yang mungkin sudah bernanah.
Semua yang tumpah hanya air mata, sedikit ada peluh, sesekali mengeluh, tapi intinya ingin merangkuh.
Merangkuh kembali sesuatu yang hilang kemarin. Yang pergi tanpa mohon izin dan tidak ada kehendak dari kita bisa melepas dengan ikhlas.
Tapi ini hidup, teman. Mereka itu datang, lalu mereka pergi.

Itu sudah pasti....

Seperti hujan dengan airnya dari laut yang menguap, lalu meronta dari pelukan sang awan, tumpah ke bumi, kadang deras, banjir ,lalu surut, disertai gemuruh halilintar yang berteriak mungkin marah, lalu kembali mengalir ke sungai, bermuara lagi di laut, dan kembali menguap meminta kembali dipeluk awan.

Semua bisa meninggalkan luka, atau malah di balik luka ada torehan senyum karena kita sadar sudah terbangun dari buaian angan-angan kotor.

Jangan sedih, apalagi menangis untuk sesuatu yang berputar seperti siklus. Akan terjadi terus sampai kita merasa jalan kita mulus. Cobalah bertahan seperti pohon kaktus. Berani berdiri sendiri di tengah padang tandus. Karena aku, kamu, mereka pasti sedang jadi objek sang karma yang sedang melahap rakus.
Besok, air matamu akan keluar lagi, jadi simpan saja untuk jangka waktu panjang yang akan datang.

Sekarang, kita ada, bersama, untuk melihat lagi apa yang ada esok saat kita sudah tumbuh besar mungkin juga dewasa. Karena hidup ini bukan untuk menyesali kisah klasik yang sebenarnya sudah usang ditutup debu.

Satu kali terjatuh itu biasa, namun dua kali terjerembab hanya bikin malu. Minta aku untuk merangkulmu jika takut. Genggam jemariku bila ragu. Suatu saat kita akan berterimakasih pada luka. Karenanyalah kita bisa beristirahat sebelum kita bersahabat dengan sekarat.



to my beloved friends with all their strength and togetherness

05/02/10

Bunga Melindur

Ini adalah bunga tidur

Kegemarannya yaitu menambah kesan di tengah tetesan air liur

Bonus setelah hari ini karena aku terlalu sering melindur

Mimpi adalah ilusi kalau kata ensiklopedi

Menyambar satu derita yang lalu merangkai cerita dengan alam berbeda dimensi

Kadang menghibur tapi lebih sering mengganggu tidur

Sampai kadang waktu terasa melambat seperti dihembus nyiur

Dan aku bernafas tergesa agar lekas terbangun

Ini sebuah petunjuk bagi yang percaya

Mungkin karena mereka terlalu fanatik terhadap suatu peristiwa

Baik buruknya pertanda itu datang seperti kejutan

Layaknya kerja sama dua tangan yang sedang membuat secarik rajutan

Hasilnya tergantung kita, berharap dan bersabar jangan sampai hilang memudar

Namun sekali lagi, itu hanya bunga tidur

Terserah.


**wajah saya sepeninggalan bunga tidur


**************